Sejak kembali dari Tanah Suci Makkah sampai akhir
hayatnya Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid aktif
menggunakan sebagian besar waktunya untuk membangun mental spiritual masyarakat
melalui madrasah, kegiatan dakwah, majlis taklim, pengajian umum di
masjid-masjid dan surau-surau di berbagai kota dan desa di Pulau Lombok.
Usia senja bagi beliau tidaklah menjadi kendala
untuk tetap berjuang memajukan agama, nusa dan bangsa yang tercinta ini. Beliau
tetap berjuang dan membangun sesuai dengan hajat pembangunan dan perjuangan
yang terus meningkat. Itulah
sebabnya beliau sering memberikan motivasi kepada murid-muridnya untuk dapat mengikuti jejak langkah perjuanga, semangat pantang menyerah, pengambdian dan dedikasi beliau yang sulit ada tandingannya itu. Tegasnya “ Tiada hari tanpa perjuangan “ itulah yang terlihat dan terkesan dalam seluruh sisi kehidupan beliau. Pantaslah kalau beliau sering mengatakan : “Usia saya telah senja, kendatipun demikian saya ingin seperti matahari yang selalu berputar dari timur ke barat, bukan hany dalam waktu 24 jam, tetapi telah berjuta-juta tahun, tanpa mengenal terlambat walau sedetikpun. Saya tidak rela kemerdekaan yang ditebus dengan lautan darah para syuhada’ itu disia-siakan tetapi harus diisi dengan pembangunan terus menerus menurut kamampuan dan keahlian masing- masing meratalah kemakmuran, keadilan, dan kebenaran di seluruh persada tanah air tercinta ini. “ Demikian jiwa dan semangat perjuangan beliau yang tidak kenal lelah, lebih-lebih dalam memperjuangkan tegaknya iman dan taqwa di persada tanah air Indonesia yang berdasarkan pancasila ini.
sebabnya beliau sering memberikan motivasi kepada murid-muridnya untuk dapat mengikuti jejak langkah perjuanga, semangat pantang menyerah, pengambdian dan dedikasi beliau yang sulit ada tandingannya itu. Tegasnya “ Tiada hari tanpa perjuangan “ itulah yang terlihat dan terkesan dalam seluruh sisi kehidupan beliau. Pantaslah kalau beliau sering mengatakan : “Usia saya telah senja, kendatipun demikian saya ingin seperti matahari yang selalu berputar dari timur ke barat, bukan hany dalam waktu 24 jam, tetapi telah berjuta-juta tahun, tanpa mengenal terlambat walau sedetikpun. Saya tidak rela kemerdekaan yang ditebus dengan lautan darah para syuhada’ itu disia-siakan tetapi harus diisi dengan pembangunan terus menerus menurut kamampuan dan keahlian masing- masing meratalah kemakmuran, keadilan, dan kebenaran di seluruh persada tanah air tercinta ini. “ Demikian jiwa dan semangat perjuangan beliau yang tidak kenal lelah, lebih-lebih dalam memperjuangkan tegaknya iman dan taqwa di persada tanah air Indonesia yang berdasarkan pancasila ini.
Dalam perjuangan membebaskan bangsa dan rakyat
Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda dan Jepang, Maulanasysyaikh TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadikan Madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat
pergerakan kemerdekaan. Jiwa perjuangan, patriotisme, dan semangat pantang
menyereh tetap beliau kobarkan di dada murid-murid, santri dan guru-guru Madrasah
NWDI dan NBDI. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau kedua bangsa penjajah
itu selalu berusaha untuk menutup dan membubarkan Madrasah NWDI dan NBDI.
Pada zaman penjajahan Jepang, Maulanasysyaikh
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berkali-kali dipanggil untuk segera
menutup dan membubarkan kedua Madrasah tersebut dengan alasan bahwa kedua
Madrasah ini digunakan sebagai tempat menyusun taktik dan strategi untuk
menghadapi bangsa penjajah tersebut. Disamping dianggap sebagai wadah yang
berindikasi bangsa asing karena diajarkannya Bahasa Arab di kedua Madrasah ini.
Kepada pemerintah Pascis Jepang beliau
mengemukakan beberapa penjelasan. Diantaranya bahwa Bahasa Arab adalah bahasa
Al-Quran, bahasa Islam, dan bahasa umat Islam, bahasa yang dipakai dalam
melaksanakan ibadah. Ibadah umat Islam menjadi rusak kalau tidak menggunakan
Bahasa Arab. Itulah sebabnya Bahasa Arab diajarkan di Madrasah NWDI dan NBDI.
Di kedua madrasah ini juga dididik calon-calon “ Penghulu dan Imam “ yang
sangat diperlukan untuk mengurus dan mengatur peribadatan dan perkawinan umat
islam.
Setelah mendengar penjelasan beliau, segeralah
pemerintah Jepang yang ada di Pulau Lombok mengirim laporan ke pihak atasannya
di Singaraja Bali. Tidak lama kemudian terbitlah Surat Keputusan di Singaraja
dalam bentuk kawat surat, yang berisi antara lain bahwa Madrasah NWDI dan NBDI
dibenarkan untuk tetap dibuka dengan ketentuan supaya nama Madrasah tersebut
diubah menjadi “ Sekolah Penghulu dan Imam”.
Kemudian setelah beberapa bulan kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan, mendaratlah tentara NICA di Pulau Lombok. NICA adalah singkatan
dari Netherlands Indies Civil Administrations, yaitu Pemerintah Sipil Belanda
yang bergabung dalam Angkatan Bersenjata Negara-Negara Sekutu di masa Perang
Dunia II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar